Langsung ke konten utama

Little Things

 Ini tentang bagaimana sebuah cerita cinta tragis dimulai, saat musim dingin menjelang Natal. Tentang seorang pemain ice skating dan seorang putri pejabat kota yang menderita little space.

Hari itu tanggal 10 Desember tahun Naga Emas. Orang-orang di sebuah kota kecil bernama Oasey sedang sibuk mempersiapkan perayaan Natal. Memang, warga kota Oasey selalu mempersiapkan Natal dari jauh-jauh hari. Begitulah budayanya.

Semua saling bersuka cita menyambut Natal yang akan datang. Apalagi salju tahun ini turun lebih awal daripada perkiraan pihak badan cuaca, membuat warga harus ekstra kuat menghadapi udara dingin.

“Cici lihat, saljunya sangat banyak!” pekik seorang gadis berambut gelombang dengan riang saat melihat gundukan salju di pekarangan rumahnya.

“Nona Edrea, tetaplah di sini, saya akan ambilkan mantel dulu untuk nona,” ucap wanita dari dalam rumah megah itu. Gadis yang dipanggil Edrea tak peduli, tetap bermain dengan salju sambil mengembang-ngembangkan gaun kuningnya dengan riang.

Namanya Edrea, gadis 20 tahun penderita gangguan little space. Ia adalah putri pejabat daerah selatan kota Oasey. Ia selalu dijaga seorang babysitter sebelum benar-benar mendapatkan caregiver sesuai kriteria sang ayah.

Ayah Edrea, Tuan Rey, ingin yang terbaik bagi putrinya—terbaik dalam arti sempurna di mata sosial: jabatan tinggi, keturunan darah biru, kaya raya. Semua sudah diatur, termasuk rencana menjodohkan Edrea dengan Joshua, putra walikota.

Tentu saja Joshua memenuhi semua kriteria. Semua tinggal menunggu ia menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi kedokteran sebelum menikahi Edrea.

Semua berjalan sesuai keinginan Rey, tapi apakah Rey pernah memahami perasaan putrinya? Bagaimana Edrea bisa mengalami little space? Rey tak peduli, ia terlalu tamak akan status sosial dan kekuasaan. Putrinya hanyalah alat bisnis baginya, sehingga Edrea jatuh sakit dan depresi.

Edrea akan memasuki masa littlenya saat merasa cemas, takut, atau tertekan. Dan itu terjadi sekarang. Tadi pagi ia beradu argumen dengan ayahnya soal perjodohan dengan Joshua. Edrea menolak menikah karena tidak mencintai Joshua—yang kasar dan suka berpesta di klub malam. Meski begitu, Joshua pandai berakting di hadapan Rey.

Kembali ke saat ini, Edrea asik bermain salju. Sebuah limusin melintas di depan rumahnya, menarik perhatian Edrea. Ia mengikuti limusin itu hingga berhenti di depan gedung teater tak jauh dari rumahnya.

Edrea menghampiri penjaga teater. Ia ingin tahu apakah akan ada pertunjukan. Penjaga menjawab memang ada: seorang pemain ice skating dari luar kota akan menampilkan pertunjukan menjelang Natal.

Edrea sangat antusias dan meminta izin masuk ke gedung teater untuk melihat latihan. Ia, putri pejabat, diizinkan masuk.

Edrea menemukan kursi penonton dan duduk dengan riang, menatap atlet ice skating itu yang tengah berlatih.

“Kakak atlet, semangat!” teriak Edrea, dan Sean, atlet ice skating itu, menoleh saat mendengar suara cempreng Edrea.

Sean tersenyum dan melambaikan tangan pada Edrea, lalu kembali berlatih.

Sejam berlalu, Sean selesai berlatih dan duduk membuka sepatu skatenya. Seorang pria paruh baya menghampirinya.

“Sean, nanti malam ada jamuan makan malam oleh pejabat daerah ini, jadi bersiaplah,” ucap pria itu. Sean hanya mengangguk, lalu pergi ke salah satu bangku penonton, menuju satu-satunya penonton: Edrea. Namun Edrea sudah tertidur pulas.

Sean tersenyum teduh. Manis sekali gadis di depannya.

“Eungh?” Edrea terbangun, bingung melihat sekeliling dan melihat Sean.

Sean tersenyum canggung.
“Hai, aku Sean, atlet ice skating dari Oasey Timur yang akan tampil menjelang Natal.”

“Oh h-hai Sean, aku Edrea, eump, anak pejabat kota Rey,” balas Edrea canggung.

Dari perkenalan singkat itu, mereka semakin akrab. Setiap hari Edrea datang ke teater untuk menonton latihan Sean, dan Sean menyempatkan diri mengobrol setelah latihan. Tanpa disadari, rasa itu tumbuh perlahan.

Tiga hari sebelum perayaan Natal, Sean sudah yakin ingin menyatakan perasaannya. Edrea menerimanya dengan senang hati, karena ia juga jatuh cinta pada Sean sejak awal.

“Sristhi, kau tau ada berapa banyak butiran salju yang turun tahun ini?” tanya Sean, kini memakai sepatu ice skating dan bersiap gladi bersih.

“Eump… ribuan? Puluhan ribu? Jutaan? Aku tak dapat menghitungnya, itu terlalu banyak.”

Sean terkekeh gemas, berdiri sejajar Edrea.
“Benar, sama seperti cintaku padamu. Kau tak bisa menghitungnya, terlalu banyak,” ujarnya, mencolek ujung hidung Edrea.

“Aih Sean-ah, berhentilah melontarkan gombalan murah dan buktikan saja,” ucap Edrea.

“Oke, sayang,” Sean tersenyum.


Malam harinya, teater dipenuhi warga Oasey Selatan, termasuk pejabat dan Rey bersama Edrea. Pertunjukan berjalan sempurna. Sean menari di atas es dengan lagu yang mengalun merdu. Tepuk tangan gemuruh menutup pertunjukan.

Edrea menghampiri ayahnya.
“Ayah, bisakah kita bicara sebentar dengan Sean?”

Rey menaikkan alis, bingung.
“Kau punya hubungan dengannya?”

“Aku mengenalnya,” jawab Edrea.

Akhirnya, mereka bertiga memasuki ruang khusus di teater: Edrea, Sean, dan Rey.

“Jadi apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya Rey dingin.

“Sebelumnya saya minta maaf, Tuan Rey. Saya telah menjalin hubungan dengan putri Anda. Saya minta izin agar hubungan ini bisa dijalani lebih serius, karena hatiku sudah memilih putri Anda,” ucap Sean sopan.

‘BRAK’

Rey menggebrak meja, membuat Edrea dan Sean terkejut.
“Apa-apaan kau! Beraninya kau menjalin hubungan dengan putriku! Aku tak akan pernah setuju! Kau, Sean-ssi, segera pergi dari kota ini!” bentak Rey.

“Tuan, saya sangat mencintai putri Anda,” balas Sean dengan pilu.

“Pergi sebelum aku membunuhmu sendiri!”

“Ayah…” Edrea bergetar, bersujud di depan sang ayah.
“Ayah, mohon biarkan aku memilih jalanku. Aku mencintai Sean.”

Rey mengambil revolver dari sakunya, menatap Edrea.
“Kau mencintai bocah itu?”

Edrea mengangguk.

“Kalau begitu biarkan dia pergi.”
‘Dor’

“Sean!” teriak Edrea saat Sean ambruk, peluru mengenai kepalanya. Ia memeluk kepala Sean di pangkuannya sambil menangis.

“Sean, kumohon sadarlah, jangan tinggalkan aku…” isak Edrea. Darah mengotori gaun putihnya.

“Ayah! Teganya kau melakukan ini! Ayah kau iblis!” teriak Edrea, namun Rey menariknya kasar.

“Kau harus pulang,” ucap Rey. Edrea melawan, berhasil mengambil alih revolver.
“Tidak, ayah! Aku yang menjalani hidupku! Tak ada yang bisa menghalangiku!”

“Edrea, sadarlah!” Rey panik saat Edrea mengarahkan revolver ke kepalanya.

“Ayah, maafkan aku, tapi biarkan aku bebas dari genggamanmu,” ucap Edrea.

‘Dor’

Hari Natal itu, ruang tunggu teater menjadi saksi bagaimana sepasang kekasih mengalirkan darah mereka bersama, di hari Natal, dengan kesucian cinta mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja. Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah. Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus. Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah. Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone. Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau ng...