Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.
Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.
Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. Ia belajar untuk berbicara pelan agar tidak menarik perhatian, dan berjalan cepat agar tidak dijadikan target berikutnya.
Sekarang, semua itu tetap menghantuinya. Orang-orang masih menatapnya aneh, menganggapnya berbeda. Suara-suara di kepalanya, hasil dari trauma yang belum sembuh dan skizofrenia yang ia derita, kadang berbisik : “Kau tak akan pernah bisa.” Kadang mereka tertawa, mengolok-oloknya. Kadang mereka hanya diam, tapi tatapan mereka menusuk, mengingatkan ia pada masa-masa itu.
Ia menelan obatnya, satu demi satu, meski pahit dan berat. Dokter bilang itu untuk menenangkan pikirannya, mengurangi bisikan-bisikan yang menyiksa, tapi kadang rasanya seperti menelan rasa sakitnya sendiri dalam bentuk pil. Ia menatap botol obatnya, lalu jari-jarinya menutupnya perlahan. Ia tahu, ini satu-satunya cara untuk tetap bertahan.
Hari-harinya sebagian besar dihabiskan menulis. Pena dan buku catatan adalah sahabatnya, pelarian dari dunia yang selalu membuatnya merasa tidak cukup. Dalam cerita-ceritanya, ia adalah gadis yang berani, yang dicintai, yang tidak pernah takut. Ia menciptakan dunia yang seharusnya menjadi dunia nyatanya—dunia di mana kata-kata kasar dan pukulan tidak pernah ada.
Kadang ia menulis sambil menangis, kadang sambil tersenyum tipis. Ia menulis tentang tokoh-tokoh yang bangkit dari kehancuran, yang menemukan cahaya di tengah gelap. Ia menulis tentang keberanian, tentang harapan, tentang keajaiban kecil yang bisa membuat hidup terasa sedikit lebih ringan.
Meski begitu, ada saat-saat ketika rasa putus asa menenggelamkannya. Ia melihat orang-orang yang dulu membullynya, yang kini bersinar, tampak berhasil, diterima, dan dihargai oleh dunia. Perasaan itu menusuk lebih dalam daripada kata-kata. Ia merasa masa depannya takkan pernah secerah mereka. Jiwa yang hancur sejak kecil seakan menolak kesempatan untuk bahagia.
Tetapi ia tetap bertahan. Ia bangun setiap pagi, menelan pil, menulis, dan mencoba bernapas. Tidak karena dunia memberinya alasan, tapi karena ia masih punya dirinya sendiri. Hidupnya mungkin tidak sempurna, mungkin dunia ini tak adil, tapi ia memilih untuk tidak menyerah. Setidaknya, untuk hari ini, untuk detik ini, ia masih hidup.
Malam tiba. Lampu kamar redup. Pena terus bergerak di atas kertas. Kata demi kata, cerita demi cerita, ia menciptakan dunianya sendiri. Di dunia itu, ia bebas dari ejekan, dari rasa sakit, dari suara-suara asing. Di dunia itu, ia berhak bahagia.
Ia menatap catatan terakhir yang ia tulis malam itu, tersenyum tipis. Tidak ada orang yang tahu, tidak ada yang peduli, tapi setidaknya ia telah menulis sesuatu yang nyata—sesuatu yang hanya miliknya. Sesuatu yang membuktikan bahwa ia masih berjuang, masih mencoba, masih hidup.
Dan ia tahu, meski dunia di luar sana kejam, meski masa lalunya hancur, ia tidak bisa menyerah. Hidupnya adalah miliknya. Luka-lukanya adalah miliknya. Dan di balik semua rasa sakit itu, ada satu hal yang tak bisa diambil siapa pun darinya : keberanian untuk tetap bertahan, keberanian untuk menulis, dan keberanian untuk hidup.
Ia menutup buku catatannya, menatap langit-langit kamar, dan berbisik lirih pada dirinya sendiri...
"Aku hidup… dan itu sudah cukup untuk malam ini."
Komentar
Posting Komentar