Langsung ke konten utama

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja.

Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah.

Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus.

Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah.

Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone.

Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau nginep, Revan pasti tidur di kamar abangnya Anne.

Dirasa sudah lengkap, Revan pamit ke ayah bundanya lalu berangkat ke rumah Anne. Sebelum mengetuk pintu, ia sempat-sempat merapikan rambutnya.

Tak lama, mama Anne membuka pintu. Revan salam dulu, sok sopan di depan calon mertua. Ia menjelaskan maksud kedatangannya, dan tentu saja diizinkan. Emak-emak mana yang nggak gemes sama anak lucu kayak Revan?

“Ke kamar Anne aja langsung,” kata mama Anne.

Revan mengetuk pintu kamar Anne. Dari dalam terdengar suara lembut: “Masuk aja.”

“Samlekum jodoh—eh, maksudnya selamat malam, Kak Anne.” Revan buru-buru meralat. Memang kadang mulutnya suka latah kalau depan gebetan.

Anne yang tadinya beresin buku menoleh dan tersenyum. “Eh, Revan? Mau dibantuin belajar?”

Revan mengangguk polos. Anne mengajaknya duduk di atas karpet bulu di samping ranjang. Ia menarik meja kecil dari kolong ranjang buat tempat belajar.

“Dah, mana yang kamu nggak ngerti, sini biar kakak lihat.”

Revan membuka soal tentang medan listrik. “Ini, Kak. Nggak ngerti.”

“Oh, gampang. Perhatiin ya.” Anne mulai menjelaskan panjang lebar. Tapi Revan? Fokusnya justru ke wajah Anne, bukan penjelasan.

“Nah, hasilnya jadi 3000 v/m. Ngerti kan, Revan?”

Revan buru-buru tersadar dan mengangguk.

“Oke, coba nomor 6 sama 7 kerjain sendiri. Caranya sama.”

Revan menerima pena. “Kak, kalau aku bisa jawab dengan benar, ada reward-nya nggak?”

“Hmmm… kakak traktir makan siang di kantin besok?” tawar Anne.

“Pengen yang lain.” Revan manyun manja.

Anne menghela napas sambil nahan gemas. “Maunya apa emang?”

“Maunya jadi pacar kakak, hehe.”

Anne terkejut. “Eh itu—gini aja deh. Besok kan kamu ulangan fisika? Kalau dapat nilai sempurna, kakak bakal nerima kamu jadi pacar.”

“Masa? Serius, Kak?” Mata Revan berbinar.

“Iya, serius. Makanya belajar.”

“Siap, Kak!”


Keesokan harinya…

Revan duduk harap-harap cemas menunggu hasil ulangan. Ia takut nilainya nol lagi. Kalau gagal, berarti pupus sudah harapan jadi pacarnya Anne.

Tak lama, bu Leony masuk kelas membawa lembar nilai. Dan ternyata… Revan dapat nilai tertinggi!

Revan kegirangan. Ia segera keluar kelas, menolak ajakan teman-temannya yang ingin makan bareng. Ia hanya ingin satu hal: ketemu Anne.

Menurut info, Anne ada di taman sekolah. Revan langsung berlari ke sana. Tapi yang ditemuinya justru pemandangan yang bikin dada sesak.

Anne sedang dipeluk Rio—kakak kelas yang juga anak OSIS humas.

Revan mundur perlahan, tak sengaja menginjak kaleng cola. Brak! Rio dan Anne langsung menoleh.

“Loh, Revan?”

“Ma-maaf, Kak. Nggak ganggu kan? Permisi.” Revan buru-buru pergi, sempat-sempatnya membuang kertas nilai ulangannya ke tempat sampah.

Ia melarikan diri ke rooftop. Duduk di sofa usang, memandang tanah kosong di belakang sekolah. Kosong, sama kayak hatinya.

Nggak lama, ada yang menepuk pundaknya. Revan menoleh.

“Kak Anne?”

Anne tersenyum sambil menunjukkan kertas nilai. “Selamat ya, kamu dapat nilai sempurna.”

Revan melongo. Anne ikut duduk di sampingnya.

“Tenang aja, Kakak sama Rio cuma temen.” Anne seolah bisa membaca pikirannya.

“Jadi, mau ambil reward-nya nggak?”

“Maksudnya… kita pacaran?”

Anne mengangguk. Senyum Revan langsung merekah.

“Serius, Kak?”

Alih-alih menjawab, Anne merentangkan tangan. Revan pun berhambur memeluknya.

“Kakak tahu kok, kamu udah lama suka sama Kakak. Kakak suka juga, cuma nunggu kamu confess.”

“I love you, Kak.”

“Love you too, Revan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...