Langsung ke konten utama

Something Is Missing

Alin, seorang siswi kelas tiga sekolah menengah pertama, sangat menyukai kertas origami. Setiap minggu ia pergi ke toko alat tulis di ujung kompleknya. Toko itu dijaga oleh seorang bibi yang ramah, Bibi Santoro, yang biasa dipanggil Alin. Terkadang, toko itu dijaga oleh anak tunggal Bibi Santoro, Arthur, seorang siswa kelas tiga sekolah menengah atas.

Alin dan Arthur cukup akrab. Bahkan, diam-diam Alin menyimpan perasaan pada Arthur. Ia menyukai senyum manis Arthur yang selalu muncul setiap kali Alin membeli origami. Setiap kali Alin membeli kertas origami, Arthur selalu membuatkan burung bangau dari selembar origami untuknya. Alin mengumpulkan burung-bangau hasil karya Arthur di kamarnya, yakin bahwa suatu hari mereka akan memiliki kisah cinta yang abadi.

Namun, sebenarnya Alin salah mengartikan ucapan Arthur. Tapi begitulah pikirannya, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Siang itu, sepulang sekolah, Alin pergi ke toko Santoro untuk membeli dua bungkus origami. Saat tiba di depan toko, ia kecewa karena toko tutup. Di pintu hanya terpasang tulisan “Urusan Keluarga”. Alin mempoutkan bibirnya dan menendang kerikil di depan toko.

“Hei, ngapain di depan toko begini?” terdengar suara dari belakang. Alin menoleh dan terkejut melihat Arthur tersenyum padanya.

“Kak Arthur, aku… aku mau beli origami lagi,” ucap Alin sambil memilin ujung roknya. Arthur terlihat gemas.

“Tapi tokonya tutup. Hmm, sebagai gantinya, aku sudah buatkan kamu satu bentuk origami,” kata Arthur sambil memberikan origami berwarna merah muda berbentuk kupu-kupu.

Alin bingung. Biasanya Arthur membuatkan burung bangau, bukan kupu-kupu.

“Kak Arthur, kenapa kupu-kupu?” tanya Alin.

“Karena kupu-kupu melambangkan bagaimana manusia bermetamorfosis, dari yang biasa menjadi luar biasa. Kupu-kupu juga melambangkan kebebasan. Yang dulunya ulat, kini bisa terbang bebas,” jelas Arthur. Alin mengangguk, meski rasanya ada yang hilang.

“Kak Arthur…”

“Warna pink juga melambangkan cinta, kehangatan, dan romansa,” lanjut Arthur, menatap Alin dalam-dalam. Tangannya terulur menyentuh dagu Alin.

“Eight hundred thirty-one.”

Chup.

Alin terkejut saat merasakan benda dingin menempel di bibirnya. Arthur menciumnya lembut. Tak ada lumatan, hanya sentuhan singkat yang membuat sensasi aneh muncul dalam tubuh Alin.

Ciuman itu berakhir. Kedua mata mereka saling menatap.

“Pulang dulu ya, besok datang lagi buat beli origami,” kata Arthur sambil mencubit hidung Alin dengan gemas.

Alin mempoutkan bibirnya kesal. “Kakak mengusir aku?”

“Tentu tidak. Lihat, langit sudah gelap, nanti kamu kehujanan,” jawab Arthur terkekeh. Alin menatap ke langit dan menyadari benar, sudah mendung. Ia pun pulang dengan cepat.

“Ya sudah, besok aku datang lagi buat beli origami,” ucapnya.

“Oke, semoga mentalmu besok lebih kuat,” kata Arthur.


Keesokan harinya, Alin kembali ke toko Santoro. Untungnya, toko sudah buka. Namun, hari itu hanya Bibi Santoro yang berjaga. Arthur ke mana? Alin tak terlalu mempermasalahkannya. Ia langsung mengambil dua bungkus origami dari rak, ditambah beberapa cat warna dan glitter untuk menghias kamar.

Setelah belanja, Alin membawa keranjang ke kasir.

“Siang, Bibi Santoro,” sapa Alin ramah.

“Siang, Alin. Wah, belanjaannya lebih bervariasi ya?” Bibi Santoro tersenyum sambil memasukkan belanjaan ke plastik.

“Iya, bi… Eh, Kak Arthur mana? Dia tidak menjaga toko?” tanya Alin. Bibi Santoro terdiam sejenak, lalu tersenyum.

“Dia sudah pergi sejak kemarin pagi. Dan dia menitipkan surat ini untukmu,” ucap Bibi sambil memberikan sepucuk amplop biru pada Alin.

“Buat Alin?” tanya Alin. Bibi mengangguk.

Alin membayar belanjaannya, lalu tidak langsung pulang. Ia mampir ke taman untuk membaca surat dari Arthur. Pikirannya bertanya-tanya, apakah ini surat cinta? Ia tersenyum sambil membuka amplop perlahan.

Isi Surat:

Dear Alin,

Hai Alin, ini aku Arthur. Maaf aku tidak pandai berbasa-basi. Aku ingin memberitahumu perasaanku selama ini. Jujur, aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi percayalah, ini nyata. Terima kasih untuk senyumanmu. Maaf, aku tidak bisa membuat perasaan ini menjadi nyata.

Tertanda, Arthur

Alin meneteskan air mata, namun bibirnya tersenyum. Ia mengerti sekarang. Arthur bebas untuk terbang kemanapun.

Arthur sebenarnya menderita kanker. Ia pernah bercerita, tapi Alin mengira hanya bercanda.

“Kalau kamu percaya, sebenarnya aku sakit kanker,” katanya saat itu.

“Hahahaha, kakak bercandanya nggak lucu,” jawab Alin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja. Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah. Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus. Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah. Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone. Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau ng...