Langsung ke konten utama

Taekwondo

 Arin meraih ranselnya dengan semangat, karena hari ini adalah hari pertamanya mengikuti klub taekwondo. Sejujurnya, Arin bukan benar-benar ingin jadi atlet taekwondo, hanya saja kakak crush-nya juga di sana sebagai anggota.

Lima hari lalu, Arin disarankan oleh Milly, kakak dari crush-nya, untuk ikut klub taekwondo agar bisa sering bertemu dengan Dean, adik Milly sekaligus kakak kelas Arin di sekolah dan tetangga Arin di rumah.

Arin menyukai Dean sejak sekolah dasar, tapi Dean tak pernah menotice perasaannya. Padahal Arin sudah beberapa kali mencoba mendekat, tetap saja Dean hanya menganggapnya adik.

Hari ini, Arin bertekad membuat Dean terkejut dengan mengikuti klub yang sama. Siapa yang tidak terkejut kalau Arin—anak klub melukis—tiba-tiba ikut klub yang terkesan “kasar”? Ya, itu Arin, kebucinannya sudah sampai batas maksimum.

Tak butuh waktu lama berjalan kaki dari rumah, Arin akhirnya sampai di tempat pelatihan. Keadaannya cukup ramai. Arin celingukan mencari seseorang yang mengurus formulirnya, hingga seorang pemuda menabraknya.

“Ngapain di tengah jalan begini?” Arin menoleh, mendapati pemuda berambut hitam yang lebih tinggi, dengan wajah imut. Dia mengenakan baju taekwondo, dan dari sabuknya… “Anjir, sabuk merah!” batin Arin. Dean sendiri masih sabuk kuning.

“Oh, elo kakak kelas yang waktu itu nyusup ke ruang ganti anak basket kan?” ucap pemuda itu dengan smirk. Arin terkejut, apa-apaan pemuda ini? Padahal waktu itu ia hanya mengantar handuk Dean yang selesai latihan basket.

“Dih, ngawur lo ngawur, gue enggak nyusup—”

“Tunggu, Arin kan? Luke, kenalkan ini Arin, anggota baru kita,” kata Rose, teman Milly yang mengurus formulir Arin.

Luke menatap Arin dengan tatapan meremehkan, lalu langsung masuk ke dalam tempat latihan.

“Maafin Luke ya, dia emang gitu, terlalu keras orangnya,” ucap Rose.

“Iya, nggak papa kok, kak,” jawab Arin sambil tersenyum.

“Yaudah, Arin, ganti baju dulu, abis itu kita perkenalan,” ucap Rose.

“Oke, kak.”

Arin pun mengganti baju di ruang ganti, kemudian datang ke ruang latihan. Semua orang sudah mulai berlatih, dan yang membuat Arin berbinar adalah melihat Dean yang sedang berlatih.

“Anjim, ganteng banget,” gumam Arin sambil menggigiti kuku jarinya.

“Arin, sini kita kenalan dulu,” panggil Rose. Arin menghampiri Rose, lalu memperkenalkan dirinya di hadapan para anggota lain. Tak sedikit yang menggodanya dengan meminta ID Line atau bertanya soal pacar. Tapi hati Arin hanya menatap Dean yang tersenyum ke arahnya dari paling belakang.

“Oke, Arin, kamu bakal mulai dari dasar. Karena hari ini pelatih izin enggak dateng, jadi kamu bakal dilatih sama—”

‘Plis, sama Kak Dean, plis,’ batin Arin.

“Sama Luke,” lanjut Rose. Rahang Arin jatuh seketika. Latihan harus sama Luke, si cowok songong sabuk merah.

“Sa-sama Luke?”

“Iya, dia asisten pelatih karena sabuk merah, jadi dia yang gantiin pelatih hari ini.”

Arin rasanya ingin nangis. Rencananya untuk modus ke Dean gagal. Luke datang bersama beberapa anak kecil sabuk hijau. Arin, masih sabuk putih, merasa insecure.

“Lo, buruan ngumpul di ujung sana sama mereka,” perintah Luke. Arin tersenyum paksa dan mengikuti arahan.

Latihan pun dimulai. Beberapa kali Arin kesulitan mengikuti arahan Luke karena baru pertama kali. Ditambah ada Dean di sana, membuatnya terus curi-curi pandang. Hal itu membuat Luke geram.

Luke menghampiri Arin, mengunci pergerakannya, dan menghempaskannya ke matras. Arin terkejut, wajah mereka sangat dekat.

“Lo bisa serius latihan?!” bentak Luke. Arin mengangguk kaku, aura Luke begitu menusuk, berbeda dengan di sekolah di mana Arin bisa adu bacot.

Dugh…

Chup.

Mata Arin membulat ketika bibir Luke mendarat di bibirnya. Semua orang terkejut. Arin mendorong Luke hingga terduduk. Ia menoleh ke Dean, yang menatapnya tak percaya. Malu setengah mati, Arin langsung pergi dari ruang latihan.


Pulang latihan, Arin tidak langsung pulang. Ia duduk di ayunan taman sambil merenung. Bayangkan saja, ia dicium oleh Luke di depan semua anggota taekwondo, termasuk Dean.

Pengen mengumpat, “Anjing, anjing, anj—” tapi ucapan terhenti saat melihat cone es krim Mintchocho di depannya. Arin, yang bucin, langsung mengambil es krim itu.

Tanpa ia sadari, seseorang duduk di ayunan sampingnya.

“Makasih,” ucap Arin tanpa menoleh.

“Gak gratis.” Arin menoleh, terkejut. Luke duduk di sampingnya, menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.

“Lo harus jadi pacar gue, gue enggak nerima penolakan.”

“Dih, kok lo maksa?”

“Mau gue aduin kelakuan lo nyusup ke ruang ganti basket ke semua orang?”

“Kok lo aduan gitu!”

“Abisnya kalau enggak gitu, lo enggak peka—di tahun pertama sampai sekarang, gue suka sama lo.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja. Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah. Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus. Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah. Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone. Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau ng...