Langsung ke konten utama

Your Moonlight My Starlight

Airi dan Elias adalah sepasang kekasih musim gugur, bertemu di depan jalan perkomplekan agama, di antara masjid dan gereja Katolik. Cinta mereka bersemi ketika kalung yang mereka kenakan secara kebetulan tertukar.

Setelah sama-sama mengembalikan kalung, mereka mulai banyak berbicara dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Mereka saling mencintai, namun kedua orang tua mereka tak pernah merestui hubungan itu, karena bagaimanapun Tuhan juga tak merestuinya.

Mereka tahu hubungan itu dilarang oleh Tuhan. Tapi bagaimana jika semestalah yang memulainya? Bagaimana jika cinta lebih kuat dari agama?

Elias, pemuda bersurai hitam dengan suara merdu, lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Sedangkan Airi, gadis yang sangat hobi bermain piano, lahir dan dibesarkan di keluarga Muslim yang taat. Apa yang bisa dilakukan jika mereka jatuh cinta hanya karena kalung bulan-bintang milik Airi tertukar dengan kalung salib berlian milik Elias? Apakah ini bukan permainan semesta?

Jika semua tidak direstui, mengapa semesta membuat skenario konyol seperti itu? Apakah semesta ingin membunuh hati mereka? Jika Airi tahu ibunya akan jatuh sakit karena cintanya pada pemuda Katolik, ia pasti akan memilih untuk tidak pernah bertemu Elias.

Elias menatap sendu Airi, yang tengah duduk di bangku taman rumah sakit. Ibunda Airi jatuh sakit sejak mengetahui hubungan mereka. Ibunda hanya takut Airi akan tersakiti karena perbedaan agama. Kekhawatiran itu membuatnya drop dan harus dirawat di rumah sakit.

Elias menghampiri Airi, duduk di sebelahnya, lalu memeluk gadis yang dicintainya itu. Tangis Airi pun pecah, disertai semilir angin yang mengiringinya.

Airi meremas kemeja yang dikenakan Elias. Ia takut kehilangan Elias, sekaligus takut kehilangan ibunya. Hatinya terbelah, rapuh, dan ia tak tahu apa yang harus dilakukan. “Jika begini, lebih baik aku mati saja,” pikirnya.

Airi, aku mencintaimu, dan kau juga mencintaiku. Tapi jika rasa ini menyakiti keluarga kita, aku rasa kita harus mengakhirinya,” ucap Elias pasrah.

“Tolong jangan tinggalkan aku… aku tak ingin kehilangan,” isak Airi dalam pelukan Elias. Ia mengecup surai Airi dan mengusap puncak kepalanya.

“Ingat bagaimana kita bertemu?” Airi menatap Elias dengan tatapan melas. Otaknya tak sanggup mengingat itu.

Di awal musim panas, siang itu Airi dan Elias baru selesai melaksanakan kegiatan ibadah. Udara panas membuat mereka melepas kalung simbol masing-masing. Mereka pergi ke sebuah truk penjual es krim, membeli es krim, dan secara tak sengaja kalung mereka tertukar di meja kasir. Lima hari kemudian, mereka mengembalikan kalung saat jadwal ibadah mereka bertepatan.

Skenario semesta itu membuat mereka banyak berbicara dan jatuh cinta, tak peduli bagaimana kelak Tuhan tak merestuinya.

Suatu malam, Airi dan Elias pergi berlatih musik di kelas yang sama. Mereka adalah duet sempurna: Airi bermain piano, Elias bernyanyi. Bahkan satu universitas pun tahu siapa best couple di fakultas musik.

Elias menyanyikan bait demi bait lagu ciptaan Airi, Your Moonlight, My Starlight, sementara Airi menekan tuts pianonya dengan indah. Mereka berduet dengan harmoni sempurna, walau penonton hanyalah bulan dan ribuan bintang.

“And when that happens, your moonlight and my starlight will be much different and will be separated in the same place~”

Kisah Airi dan Elias sama seperti bulan dan bintang. Mereka berbeda, cahaya mereka berbeda, dan tak pernah ditakdirkan bersama walau berada di tempat yang sama.

Airi… jika di kehidupan ini kita tak ditakdirkan untuk bersama, aku berjanji di kehidupan berikutnya kita akan bersama sebagai pasangan yang tak terpisahkan,” ucap Elias. Air mata Airi mengalir lagi.

“Jangan menangis… maafkan aku di kehidupan ini,” ucap Elias, mengusap pipi Airi, lalu meninggalkannya sendirian di taman rumah sakit.

“A-Elias… tolong… aku men-cintai-mu,” bisik Airi.

Dengan bergetar, Airi menarik paksa kalung bulan-bintang dari lehernya hingga putus. Ia mematahkan bulan dari bintang, mengarahkan sudut lancip bulan ke nadinya.

Ibunda, maafkan Airi… semesta, tolong kabulkan permintaanku…

Detik berikutnya, pandangan Airi gelap. Kalung bulan-bintang, saksi cinta mereka, hanya bisa diam dalam darah.

Di sisi lain, Elias berlari sepanjang jalan, menahan tangis. Dadanya sesak, tangannya terus memegangi kalung salibnya sambil berkata “maaf” berulang kali.

Elias berhenti di pertigaan kota, melihat mobil sedan melaju kencang.
Airi… ayo kita terus bersama di kehidupan berikutnya,” teriaknya sambil berlari ke arah mobil.

‘Bruk’

Tubuhnya terpental, kepala Elias berbenturan dengan trotoar.
Airi… aku ju-ga men-cintai-mu…

Salib dan bulan-bintang, saksi cinta mereka, hanya bisa diam dalam darah. Semesta terlalu kejam, memisahkan mereka dalam satu skenario tragis.

Tapi mungkin, suatu saat, bintang dan bulan akan kembali bersatu tanpa perbedaan, tanpa halangan apapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja. Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah. Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus. Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah. Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone. Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau ng...