Langsung ke konten utama

Tirai

 Aku memiliki tirai kesayangan di kamarku. Tirai itu berwarna putih dan merupakan pemberian dari almarhum nenekku. Aku sangat menyayangi tirai itu, sehingga aku selalu mencucinya setiap lima hari sekali karena sering terkena noda berwarna maroon. Kebetulan, hari ini adalah hari aku mencucinya kembali karena noda itu muncul lagi.

Saat aku membawa tirai ke ruang cuci untuk dicuci, tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Aku segera menuju pintu depan, tapi rasa takut menyergap—aku khawatir yang datang adalah penjahat. Sebelum membuka pintu, aku mengintip melalui lubang kunci.

Saat aku melihat siapa yang berdiri di sana, aku langsung berlari kembali ke ruang cuci, mengambil tirai kesayanganku, dan pergi dari rumah lewat pintu belakang.

Sungguh, orang itu adalah orang yang akan mengakhiri hidupku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Teater : Antara Emosi, Pikiran, dan Posisi Penonton

A.  Perbandingan Pertunjukan yang Mengaduk Perasaan dan Menggugah Pikiran     Dalam dunia teater, setiap pertunjukan memiliki cara sendiri untuk mempengaruhi penontonnya. Pertunjukan teater secara umum terbagi dua: pertunjukan yang mengaduk perasaan dan yang menggugah pikiran. Mengadu perasaan dan menggugah pikiran sama-sama penting. Pertunjukan yang mengadu perasaan hampir seluruhnya bertumpu pada emosi dan empati. Pementasan jenis ini berupaya membuat penonton larut dalam alur cerita, konflik, dan kehidupan batin tokoh-tokohnya. Akting, musik, pencahayaan, dan dialog digunakan untuk membangun suasana yang bisa menggetarkan penonton. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan peristiwa, tetapi menjadi bagian dari kesenian. Contoh yang paling mudah, kisah tragedi atau kisah keluarga yang menyentuh seringkali penonton secara emosional terbawa, menangis, marah, dan terharu, dan ikatan yang ditoken terbangun. Berbeda, pada bagian menggugah pikiran, pertunjukan ini lebih berfoku...

Di Balik Pena

      Dia bangun pagi dengan kepala berat dan tubuh lelah, meski tidur semalaman penuh. Suara alarm berdering, tapi rasanya seperti gema yang jauh. Ia menarik selimut tipis yang sudah kusam, menatap jendela kecil di kamar sempitnya. Di luar, dunia tetap berjalan—ramai, bising, dan tak peduli padanya.      Sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Tidak ada orang tua yang memeluknya, tidak ada tempat yang membuatnya merasa aman. Ia selalu dioper dari satu orang tua ke orang tua lain, dari satu keluarga pengasuh ke keluarga pengasuh berikutnya. Ia tahu, sejak awal, dunia ini seakan memutuskan bahwa dirinya adalah anak yang “tidak diinginkan”.      Di sekolah, hidupnya tidak lebih mudah. Ejekan dan pukulan datang silih berganti. Kata-kata itu—“aneh”, “bodoh”, “jelek”—tertanam dalam jiwanya seperti duri yang terus menembus. Lama-lama, ia belajar untuk menelan rasa sakit itu sendiri. Ia belajar untuk tersenyum meski ingin menangis. I...

Next Door

 Revan menggeram frustasi saat dirinya tak bisa mengerjakan soal fisika barang satu pun. Entah siapa yang menciptakan pelajaran fisika. Pengen banget Revan tuh ngelabrak orang itu. Bikin napas pendek aja. Ia melempar pulpen asal lalu memutar kursi belajarnya hingga menghadap balkon, yang berhadapan langsung dengan balkon tetangganya sekaligus kakak kelasnya di sekolah. Namanya Anne. Pintu balkon Anne masih terbuka—artinya si kakel itu pasti lagi sibuk belajar. Revan tersenyum miring. Kenapa nggak sekalian aja minta diajarin? Sekalian modus. Iya, Revan memang naksir sama Anne udah lama banget, mungkin sejak pertama kali masuk SD. Faktanya, Revan selalu ngekor kemana pun Anne sekolah. Orang tua Revan nggak masalah, malah senang karena yakin Anne membawa pengaruh baik. Sayangnya, Anne selalu menganggap Revan sebatas adik. Adik-Kakak zone. Revan pun mengemas buku-buku, peralatan tulis, serta hoodienya. Rencananya, ia mau belajar sekaligus nginep di rumah Anne. Tenang aja, kalau ng...